Tuesday 23 December 2008

Sepuluh Tahun Reformasi: Dari Kejahatan Kemanusiaan Menuju Krisis Nilai-Nilai Kemanusiaan Dan Nominator Penghargaan Poncke Princen Human Rights Prize

NOMINATOR
PONCKE PRINCEN HUMAN RIGHTS PRIZE 2008

1. IBU KEMBAR: Pendiri Sekolah Darurat Kartini
(Poncke Princen Prize for Human Rights Promotor and Educator 2008)

Sebagai penghargaan dengan kekhususan kepeloporan dalam bidang Hak Asasi Manusia, usaha Ibu Kembar Sri Rosiati dan Sri Irianingsih yang telah membuat pendidikan alternatif bagi orang-orang tak mampu di nilai pantas untuk dikenal sebagai pionir pendidik dan promotor hak asasi sebagaimana HJC Princen (1925-2002) juga telah lakukan di awal-awal hidupnya. Dedikasi ini diberikan karena konsistensi dan komitmennya untuk mempertaruhkan apa yang dimiliki dan dicintainya demi terselenggaranya pemeliharaan dan jaminan terhadap HAM bagi masyarakat tidak mampu demi perubahan pada aspek pendidikan yang bertujuan mulia di Indonesia. Walaupun lebih terfokus pada beberapa wilayah, upaya nya sedikit banyak telah memberi andil terhadap perubahan sistem dan budaya yang lebih memihak dan lebih peduli terhadap orang miskin padahal ia mampu menyelenggarakan untuk kepentingan dirinya dan komersialisasi pendidikan. Atas pertimbangan itu kami melihat upaya tersebut sebagai suatu kepeloporan yang penuh resiko bagi pendidikan dan promosi hak asasi manusia (Human Rights Promotor dan Educator) dan terhadap pemajuan HAM di Indonesia.


Ibu Kembar
Sri Rosiati dan Sri Irianingsih Dewa Penolong Anak Kolong Jembatan
Investor Daily Indonesia (03/11/04) Semua sekolah petak tripleks itu dibangun dalam lingkungan komunitasnya, tidak terpisah dari perkampungan utama.
"BU Guru datang..., Bu Guru datang," teriak anak anak kolong jembatan murid Sekolah Darurat Kartini, Rawa Bebek, Jakarta Utara, saat melihat mobil Nissan B2852JE warna merah marun datang, Sabtu (30/ 10) lalu. Kendaraan itu diparkir di depan sekolah yang sekelilingnya penuh gundukan limbah kertas.
Dari mobil turun dua orang yang sama sama mengenakan busana putih dipadu kerudung warna senada. "Ibu kembar sudah datang, ayo masuk," kata salah satu orangtua murid sambil menggiring anaknya masuk ruangan yang di depannya tertulis Sekolah Darurat Kartini.
Bangunan sekolahan itu menggunakan tripleks dari kayu. Ruangan seluas 40 meter persegi itu terlihat sesak dengan sekitar 80 anak yang belajar di tiap lantai. Untuk masuk ke atas, orang dewasa harus mernbungkukkan badan karena atapnya terlalu rendah.
Sekolah petak di tengah perkampungan kumuh di bawah jembatan layang itu adalah cita cita dari kembar bersaudara, Sri Rosiati (Rosi) dan Sri Irianingsih (Rian). Mereka yang akrab dipanggil ibu kembar itu termasuk orang kaya yang masa kecilnya dikungkung dan dimanjakan orang tua. Namun, justru keadaan itulah menyebabkan ibu kembar merasa terusik dan peduli pada kehidupan yang berbeda dari mereka.
Sekolah yang didirikan ibu kembar dinamai Sekolah Darurat Kartini. lbu kembar tidak pernah menamakannya sebagai yayasan ataupun sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Di Jakarta, "Kartini" sekarang sudah mempunyai lima "cabang", yaitu di bawah kolong jembatan Rawa Bebek, bawah jembatan Ancol, bawah jembatan Pluit, bawah jembatan Tambora, dan di pinggir rel kereta api Kampung Janis.
Semua sekolah petak tripleks itu dibangun dalam lingkungan komunitasnya, tidak terpisah dari perkampungan utama. Jumlah murid Sekolah Darurat Kartini kini mencapai 1925 murid, dari taman kanak kanak, hingga SMU. Sebentar lagi juga akan dibangun poliklinik gratis untuk masyarakat.
Tidak Sengaja
Kegiatan filantropis Rosi dan Rian di bidang pendidikan kaum dhuafa, sebenarnya tidak sengaja. Ceritanya, sekitar delapan tahun lalu, Rosi dan Rian berdialog dengan Jamin, salah seorang warga di kawasan Pluit, Jakarta Utara. Saat itu, Jamin bertugas sebagai keamanan di wilayah tersebut. Rosi dan Rian menitipkan kendaraannya yang saat itu mogok.
"Waktu itu kita ingin memberi imbalan kepada Pak Jamin, tapi ia menolak. la menyarankan agar kami memberikan bantuan kepada warga saja," kata Rosi kepada Investor Daily saat menghadiri acara amal Sampoerna Foundation akhir pekan lalu di Sekol lah Darurat Kartini, Rawa Bebek, akhir pekan lalu.
Setelah melihat kondisi wi¬layah di bawah jembatan la¬yang, Rosi dan Rian melihat bahwa warga di sana amat miskin. Kecuali itu, anak anak dari keluarga itu juga banyak yang tidak bersekolah. Karena itu, pasangan kembar kelahi¬ran Februari 1950 itu sengaja membangun sarana pendidik¬an bagi warga perkampungan kumuh di wilayah Jakarta Utara.
Selain didasari rasa ke¬manusiaan sebagai seseorang yang beruntung hidup di atas garis kemiskinan, inisiatif Rosi dan Rian mendirikan sekolah darurat juga atas dasar per¬hatiannya terhadap masalah pendidikan di Tanah Air.
"Kita melihat banyak anak di sini tidak punya kesempatan sekolah. Bayangkan, anak usia 10 tahun ada yang sudah menjadi pelacur. Nah, kita sebagai seorang yang berada, kenapa nggak mencoba untuk memberikan kesempatan," ujar Rosi.
Rupanya, kehadiran sekolah darurat itu mendapat respons positif masyarakat sekitar. Lima Sekolah Darurat Kartini yang didirikan Ibu Kembar ini, mampu menampung banyak anak miskin. Di Rawa Bebek saja, misalnya, tak kurang dari 350 siswa bersekolah.
Dian, seorang siswa Sekolah Darurat Kartini Rawa Bebek yang bermukim di bilangan Jembatan Tiga, berterima kasih atas kebaikan ibu kembar. Maklum, selama bersekolah di Sekolah Darurat Kartini, Dian mendapat fasilitas alat tulis, buku buku dan seragam sekolah. Gratis lagi!
"Aku sekarang sudah kelas satu SMP. Setiap hari aku selalu masuk sekolah, nggak pernah bolos. Aku senang sekolah di sini, karena ada ibu guru kembar. Kalau ibu guru kembar nggak ada, pasti kita cari cari," ujar Dian.
Aksi sosial Rosi dan Rian pantas diacungi jempol. Maklum, ibu kembar kerap menyambangi lima sekolah darurat miliknya. Bahkan, mereka pun turut mengajar. Hebatnya lagi, untuk mem¬biayai kegiatan sekolah darurat itu, ibu kembar merogoh kocek pribadinya. Setelah sekolah tersebut berstatus disamakan pada 2000, Rosi dan Rian juga memberikan penghargaan. Lima belas pengajar di sekolah darurat itu mendapat tunjangan sebesar Rp 600.000 Rp 850 ribu.
Demi melengkapi kepedulian sosialnya dalam pemberdayaan manusia, duo kembar ini menerapkan peraturan khusus bagi para pengajar di lima sekolah darurat yang dibangunnya. Apa saja peraturannya?
"Sederhana. Guru di sekolah darurat harus lulusan S1. Guru di sini tidak boleh menggalang dana di luar sekolah, tidak boleh meminta uang dari murid. Selain itu, guru juga tidak boleh memberikan uang kepada murid," ujar Rian. http://www.jugaguru.com/tokoh/all/tahun/2007/bulan/12/tanggal/04/id/634/

IBU KEMBAR

Selain didasari rasa kemanusiaan sebagai seseorang yang beruntung hidup di atas garis kemiskinan, inisiatif Rosi dan Rian mendirikan sekolah darurat juga atas dasar keprihatinannya terhadap masalah pendidikan di Tanah Air. Banyak anak yang mereka temui tidak memiliki kesempatan sekolah. Bahkan ada anak di usia 10 tahun terpaksa menjadi PSK. Kini, Ibu Kembar Rosi dan Rian boleh berbangga, karena selama 10 tahun terakhir ini telah berhasil ‘meluluskan’ lebih dari 2.000 alumni sekolah darurat di berbagai kawasan Jakarta. Di antaranya ada yang menjadi polisi, perawat, karyawan swasta, kasir, pegawai bank, hingga pengusaha kecil.
http://www.maestrofm.com/index.php?option=com_content&task=view&id=502&Itemid=137

2. KORBAN DAN PENDAMPING KORBAN KASUS LUMPUR LAPINDO
Poncke Princen Prize for Human Rights Campaigner 2008

Sebagai penghargaan dengan kekhususan kepeloporan dalam bidang Hak Asasi Manusia, usaha Korban dan pendamping Korban Kasus Lumpur Lapindo yang telah mengungkap kebenaran atas apa yang secara jahat disembunyikan oleh pemerintah, Lapindo dan pihak-pihak lain di nilai pantas untuk dikenal sebagai pionir pendidik dan promotor hak asasi sebagaimana HJC Princen (1925-2002) juga telah lakukan di awal-awal hidupnya. Dedikasi ini diberikan karena konsistensi dan komitmen Korban dan pendamping Korban Kasus Lumpur Lapindo untuk mempertaruhkan apa yang dimiliki dan dicintainya demi terungkapnya kejahatan yang menginjak-injak martabat kemanusiaan dan budaya merusak dalam Kasus Lumpur Lapindo. Penghargaan ini juga dianugerahkan karena, atas upaya tersebut telah memicu berbagai evaluasi dan kritik terhadap kebijakan negara yang bertujuan mulia di Indonesia yang upaya Korban dan pendamping Korban Kasus Lumpur Lapindo sedikit banyak telah memberi andil terhadap perubahan sistim hukum dan politik Indonesia yang lebih peduli terhadap HAM dan demokrasi.

Atas pertimbangan itu kami melihat upaya tersebut sebagai suatu kepeloporan yang penuh resiko bagi sosialisasi dan kampanye publik hak asasi manusia (Human Rights Campaigner) dan terhadap pemajuan HAM di Indonesia.

Panel Juri
Pemilihan para nominee di usulkan oleh masyarakat berdasarkan kriteria dan monitoring tertentu yang dinilai dan disepakati oleh sebuah panel juri yang beranggotakan para anggota Dewan Penasehat LPHAM dan pribadi yaitu:
1. Asmara Nababan (Mantan Sekjen Komnas HAM, Direktur DEMOS)
2. Dadang Trisasongko (Mantan Wakil Direktur YLBHI, Senior Advisor Anti-Corruption PGRI)
3. Hendardi (Direktur Setara Institute)
4. Bambang Widjojanto (Mantan Direktur YLBHI, Advokat)
5. MM Billah (Direktur CPSM)
6. Ade Rostina Sitompul (Ketua SHMI)
7. Melani (Mantan Direktur LBH Bandung, Advokat)
8. Ori Rahman (Mantan Ketua Dewan Presidium KontraS, Advokat KontraS)