Wednesday 25 April 2007

KOLEGA

Desertir yang Pulang ke Kesatuannya
Oleh: Nono Anwar Makarim*


Schemering, wier zachte handen strelen
Allen die alleengelaten zijn,
En in duister met doorwonde harten
‘t luide lachen van het leven tarten…………..
A. Roland Holst


“PONCKE” Princen masuk dalam kehidupan saya pada suatu hari yang mendung tahun 1967. naik sekuter vespa, Harian Kami hari itu diselipkan dalam jaketnya. Ia masuk ke kamar saya tanpa mengetuk pintu, langsung membaca keras-keras editorial yang saya tulis untuk hari itu. Ditengah teks tajuk ia berhenti dan menangis, terharu atas pesan yang saya tuliskan semalam sebelumnya. Lengan bajunya digulung tinggi-tinggi. Tampaknya ia ingin menunjukkan otot-ototnya, seperti jagoan. Di kemudian hari saya mengetahui bahwa ia memang saban hari melatih diri angkat besi. Sebagian untuk tampak berotot, sebagian lagi agar siap mengangkat beban yang berat-berat. Mungkin beban kesendiriannya.

Sejak saat itu ia sering datang ke Kramat VIII Nomor 2, kantor redaksi Harian Kami. Sesekali ia melakukan resitasi sajak-sajak yang di ingatnya dari sekolah gymnasium di Negeri Belanda. Saat-saat itu tiba giliran saya untuk pura-pura melihat keluar jendela, malu ketahuan “mberes mili”. Dalam hati saya berpikir: tidak banyak lagi orang yang masih bias khusyuk menikmati puisi belanda tahun 1880-an. Ia hafal bait-bait sajak Van Eyck, Gorter, Van Deysel, Perk dan Kloos.
Desersi
Bagi saya, dengan segala cacat dan boncelnya, Princen adalah suatu monumen. Pada waktu-waktu tertentu kita ragu akan jalur sepi yang kita jalani. Apalagi kalau kebanyakan teman menempuh jalan lain yang ramai. Pada saat-saat seperti itulah saya membuka hati dan memandang H.J.C. Princen. Poncke Princen di sepanjang hidupnya berjalan sendiri di jalan yang sempit dan sepi. Tidak ada orang yang lebih kesepian seperti dia.

Terbebas dari kamp tahanan Nazi, ia direkrut jadi tentara walaupun enggan. Tapi, Poncke Princen adalah orang yang berpendidikan kukuh sekali. Dari Gymnasium ia masuk seminari. Barangkali ia sudah tahu sebelum diberangkatkan ke Indonesia untuk berperang merupakan pelanggaran atas undang-undang dasar Kerajaan Belanda. Kekecewaannya bertambah ketika sadar bahwa tentara Belanda datang bukan untuk membebaskan, melainkan untuk menjajah. Dalam seketika serdadu H.J.C. Princen, nomor pokok 251121085, kompi staf brigade infanteri 2, Grup Purwakarta, menjadi disertir. Ia menyeberang ke pihak republik dan bergabung dengan “onze jongens” melawan kesatuannya sendiri.

Untuk itu dia dihukum seumur hidup oleh tanah tumpah darahnya. Princen tidak boleh menginjakkan kaki di Netherland. Ketika diberi visa oleh pemerintah Belanda atas pertimbangan kemanusiaan, organisasi veteran Belanda protes keras. Mereka mengartikan visa sebagai rehabilitasi seorang disertir. Saya mengartikan protes mereka sebagai sikap menolak diingatkan bahwa sejarah telah membenarkan Princen dan menyalahkan mereka. Sebenarnya, yang dihukum seumur hidup adalah militer yang melancarkan perang penjajahan terhadap aspirasi sah suatu bangsa yang ingin merdeka. Hakimnya adalah hati nurani mereka sendiri. Princen dinyatakan bebas oleh hati nuraninya.

Poncke
Itu belum cukup. Nama “Poncke” konon diperolehnya dari roman yang digemarinya tentang pastur jenaka di Belgia Utara yang bernama Pastoor Poncke. Pada tahun 1994 perkumpulan penggemar roman tahun 1940-an tersebut mengadakan rapat dan memutuskan untuk melarang H.J.C Princen menggunakan nama Poncke.

Siapalah yang peduli. Ia toh sudah lama terbiasa tak punya apa-apa. Semua sudah diambil darinya, termasuk kesehatannya. Saya masih ingat ketika ia dipanggil untuk menaiki panggung guna menerima anugerah Yap Thiam Hien. Yang bergerak menuju panggung, tanpa tongkat, tanpa bantuan pengantarnya, adalah sosok yang sudah rongsok digempur stroke berkali-kali. Pada saat itu Poncke terkesan pada saya seperti kapal perang yang babak belur, compang-camping pulang dari berperang, masuk ke pelabuhan tanpa tepuk dada, tanpa sorak-sorai. Sekarang kapal itu masuk dok untuk selama-lamanya. Rohnya kini bebas keluar masuk De Haag, Heestede, Amersfoort, Enschede, Harleem dan Sukabumi. Bebas juga dari protes kerdil para veteran perang kolonial, dari Drs. Kamsteeg yang melarangnya menggunakan nama Poncke. Yang tersisa hanya semangatnya. Sang desertir sudah pulang ke kesatuannya.[1]

Mantan Pemred Harian Kami,
Ketua Dewan Pelaksana Yayasan Aksara
Jakarta, 23 Feb 2002
[1] Tempo, Desertir yang Pulang ke Kesatuannya, Nono Anwar Makarim Tempo Edisi 020303-052/Hal.42, Rubrik Kolom